Belajar Fitrah Seksualitas Melalui Shalat


Oleh: Zahriani Ahmad Amin
Seksualitas secara bahasa menurut KBBI dapat diartikan sebagai ciri,sifat atau peranan seks. Kendati demikian, seksualitas jangan hanya diterjemahkan sebagai aktivitas seksual semata sebagaimana yang dimaknai dari aspek bahasa di atas. Pengakuan diri terhadap jenis kelamin dan perannya adalah sebuah bentuk dari seksualitas itu sendiri. Banyaknya perilaku penyimpangan seksual yang sering diberitakan akhir-akhir ini adalah sebuah bentuk dari tidak selesainya fitrah seksualitas manusia saat prabaligh. Orang tua banyak menerjemahkan sex education sebagai mengajarkan aktivitas seksual pada anak seperti yang diajarkan oleh dunia Barat.
Dalam Islam sendiri telah mengajarkan tentang seksualitas sejak anak berusia 7 tahun, ketika pertama kali mereka harus diajarkan shalat. Amru bin Syuaib bercerita bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat jika mereka telah mencapai usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (kalau meninggalkan shalat) jika mereka sudah berumur tujuh tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (HR. Abu Dawud).” Sex education dalam Islam lebih menitikberatkan pada peran dan fungsi sosial lelaki dan perempuan (gender) dalam masyarakat, bukan hanya tentang bentuk biologis dan fungsi biologis dari jenis kelamin tertentu. Kurangnya pemahaman karena minimnya komunikasi dan penegasan tentang sikap yang harus ditunjukkan berdasarkan jenis kelamin mengakibatkan anak bingung dan akhirnya salah dalam mengintepretasikan fungsi sosialnya berdasarkan jenis kelamin tersebut.
Interpretasi jenis kelamin bisa dikatakan sangat tegas dalam Islam. Hal ini dapat kita lihat dari pelaksanaan shalat. Dalam pelaksanan shalat wajib lima waktu, mazhab syafi’iyah menetapkan hukum sunat mu’aqad (mendekati wajib) bagi lelaki untuk melakukannya di masjid, keadaan sebagai masbuk lebih baik dari pada shalat di tempat selain mesjid. Bahkan ketika tidak lagi mendapatkan jama’ah utama di mesjid, maka shalat wajib sendirian di dalam mesjid lebih baik daripada di rumah. Rasulullah Saw sangat marah pada kaum lelaki yang melaksanakan shalat wajibnya di rumah, beliau sampai-sampai ingin membakar rumah yang lelakinya enggan shalat wajib di mesjid.
Begitupun pada anak perempuan, walaupun tidak ada larangan sama sekali perempuan untuk shalat jama’ah di mesjid namun sahalat shalat di rumah lebih baik bagi perempuan, Ibnu Umar r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “Janganlah kalian melarang para wanita pergi ke mesjid, walaupun (melaksankan shalat) di rumah lebih baik bagi mereka (HR. Abu Dawud).” Ketentuan syari’at tentang dimana dan bagaimana perempuan shalat telah mengajarkan mereka untuk mengikrarkan dirinya sebagai lelaki atau perempuan. Beberapa ketentuan hukum membedakan aturan pelaksanaan shalat bagi lelaki dan perempuan, mulai dari posisi jama’ah lelaki dan perempuan (jika shalat dilakukan secara berjama’ah) kemudian perbedaan aurat yang harus ditutup bagi lelaki dan perempuan dalam shalat.
Sejatinya shalat menjadi sarana awal pembelajaran tentang fitrah seksualitas pada anak prabaligh sejak usia tujuh tahun tentang perbedaan dan keunikan menurut jenis kelamin mereka masing-masing. Sehingga ketika memasuki usia baligh mereka tidak lagi mengalami kebingungan identitas jenis dan fungsi gender mereka. Ajaran ini sebenarnya telah menanamkan kepada anak lelaki untuk mengakui fitrah seksualitasnya sebagai lelaki dan tanggung jawabnya sebagai lelaki yang lebih banyak perannya di luar rumah. Tanpa mereka sadari jiwa dan pikiran mereka telah mengikrarkan dirinya bahwa “Aku shalat di mesjid berjama’ah karena aku lelaki.” Begitupun bagi anak perempuan dari aturan ini mereka akan menyadari peran yang harus mereka jalani. Bagi anak-anak cerdas biasanya akan bersikap kritis dengan menanyakan “mengapa harus berbeda dengan saudaranya,” dan ini kesempatan orang tua untuk menjelaskan tentang perbedaan jenis kelamin mereka.
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul, apakah pembelajaran seksualitas melalui kegiatan shalat tidak akan memunculkan image stereotip bagi perempuan? Karena posisi perempuan ketika shalat berjama’ah berada di belakang lelaki, adanya larangan perempuan untuk menjadi imam shalat jika ada lelaki ditambah lagi bagian aurat yang harus ditutup perempuan dalam shalat.
Ajaran islam tidak pernah meletakkan perempuan sebagai stereotip dari lelaki, dalam islam perempuan sangat dihormati dan dilindungi. Posisi jama’ah perempuan di belakang lelaki dan banyaknya aurat perempuan yang harus ditutup ketika shalat, merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap perempuan dari lelaki yang bukan mahramnya. Perempuan hanya dilarang menjadi imam shalat jika ada lelaki, tapi bagi sesama perempuan mereka tetap berjama’ah dengan imam dari perempuan sendiri. Larangan menjadi imam shalat perempuan bagi lelaki bukan karena ketidak mampuan perempuan, tapi karena suara perempuan adalah aurat saat melantunkan ayat suci dengan irama. Sedangkan dalam mengajarkan ilmu islam tidak pernah melarang perempuan untuk mengajarkan lelaki, bahkan ummul mukminun Siti Aisyah adalah seorang guru bagi para sahabat bukan hanya untuk para sahabiyah.
Di sekolah-sekolah yang berbasis islam pelaksanaan shalat dzuhur biasanya dilakukan di sekolah secara berjam’ah. Tanpa sadar anak-anak telah memposisikan jati dirinya berdasarkan jenis kelamin setiap harinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kodrat Perempuan dalam Pergulatan

Bangkit dari Keterpurukan